Jurnalistik.co.id, Gorontalo – Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Gorontalo menyoroti mekanisme kontrak kerja sama media yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Gorontalo. Ia menegaskan bahwa DPRD seharusnya hanya bekerja sama dengan media yang telah memenuhi standar Dewan Pers, baik dari sisi legalitas maupun kompetensi jurnalistik.
“Seharusnya DPRD hanya bekerja sama dengan media yang memenuhi standar Dewan Pers. Namun, kenyataannya masih ada sekitar 35 media yang terlibat dalam kerja sama ini, dan banyak di antaranya tidak memiliki legalitas serta kompetensi jurnalistik yang jelas,” ujar Ketua PWI Gorontalo.
Menurutnya, kebijakan ini berisiko menurunkan kualitas pemberitaan serta membuka peluang bagi media yang tidak profesional untuk memperoleh anggaran pemerintah tanpa memenuhi standar jurnalistik yang semestinya.
PJS: Dewan Pers Tak Berhak Mengatur Kontrak Media
Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua DPD Perkumpulan Jurnalis Siber (PJS) Gorontalo, Jhojo Rumampuk, memiliki pandangan berbeda. Ia menegaskan bahwa tugas utama Dewan Pers bukan mengatur kontrak kerja sama media dengan pemerintah, melainkan memastikan wartawan bekerja sesuai kode etik jurnalistik dan tidak menyebarkan berita hoaks.
“Secara hukum, tidak ada regulasi yang secara eksplisit melarang lembaga pemerintah bekerja sama dengan media yang belum terverifikasi Dewan Pers atau wartawannya belum memiliki sertifikasi Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak menyebutkan bahwa hanya media terverifikasi yang boleh mendapatkan kerja sama dengan pemerintah,” jelas Jhojo.
Menurutnya, selama media memiliki badan hukum yang sah dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, mereka tetap berhak menjalin kerja sama dengan lembaga pemerintah.
Transparansi dan Profesionalisme Jadi Sorotan
Polemik mengenai standar media yang bekerja sama dengan pemerintah ini terus menjadi perdebatan di Gorontalo. Sejumlah pihak menilai bahwa verifikasi Dewan Pers seharusnya menjadi syarat mutlak dalam kerja sama antara media dan pemerintah. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa selama media beroperasi sesuai aturan yang berlaku, kerja sama tersebut tetap sah.
“Meski secara aturan kerja sama ini memungkinkan, tetap ada kekhawatiran mengenai transparansi dan profesionalisme. Pemerintah perlu memastikan bahwa media yang diajak bekerja sama benar-benar menjalankan fungsi jurnalistik dengan baik, bukan sekadar media abal-abal yang hanya mengejar keuntungan dari kontrak kerja sama,” tutup Jhojo.